Kerap merantau dan meninggalkan kampung halamannya merupakan ciri khas budaya suku bugis. Tidak heran, jika di seluruh penjuru tanah air ada orang bugis kita temui.
Ini merupakan tradisi orang bugis yang sudah terbentuk pada zaman dulu. Orang bugis juga suka berlayar menggunakan perahu Phinisi di berbagai wilayah nusantara bahkan ke negara lain.
Maka tidak heran, jika orang bugis di kenal dengan pelaut handal karena bisa membuat kapal sendiri untuk berlayar.
Zaman dulu, orang – orang bugis menggantungkan hidupnya sebagai Petani. Namun seiiring perkembangannya, orang bugis diketahui telah mendirikan suatu perkumpulan di berbagai daerah lain.
Sejarah dan Asal Usul Suku Bugis
Melansir dari situs resmi Pemerintah Kabupaten Wajo, Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Deutero Melayu. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata “Bugis” berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis.
Penamaan “ugi” merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi.
Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi.
La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayahanda dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio.
Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.
Komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan. Masyarakat ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, dan pemerintahan mereka sendiri.
Beberapa kerajaan Bugis klasik antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan Rappang. Meski tersebar dan membentuk suku Bugis, tapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar.
Agama dan Sistem Kepercayaan Suku Bugis
Melansir Jurnal Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta yang berjudul “Religiusitas dan Kepercayaan Masyarakat Bugis-Makassar”, disebutkan bahwa terhitung 97% orang Bugis merupakan penganut agama Islam. Mereka menganut Islam secara taat dalam artian kepercayaan.
Meskipun dalam prakteknya belum sepenuhnya menjalankan syariat Islam, namun mereka tidak mau dikatakan bukan Islam.
Dalam kehidupan sehari-hari masih banyak masyarakat Bugis yang menjalankan praktek-praktek kepercayaan Attoriolong. Yaitu kepercayaan nenek moyang dulu sebelum datangnya Islam.
Contoh praktek-praktek attoriolong tersebut seperti mappanre galung (memberi makan sawah), maccera tasi’ (memberi persembahan pada laut), massorong sokko patanrupa (memberikan persembahan kepada dewa berupa empat macam beras ketan) dan lain sebagainya.
Adapun masyarakat yang hingga kini masih memegang teguh kepercayaan Attoriolong ini terdapat di komunitas tolotang di Kabupaten Sidrap dan Komunitas Ammatoa Kajang di Bulukumba.
Kisah Perantauan Suku Bugis
Orang Bugis pada awalnya hanya berdomosili di daratan Sulawesi. Dalam perkembangannya, sebagai orang Bugis merantau ke berbagai wilayah dan negara.
Mengutip Jurnal Universitas Hasanuddin Makassar yang berjudul “Budaya Bugis dan persebarannya dalam Perspektif Antropologi Budaya”, orang Bugis merantau dengan berbagai pertimbangan. Salah satunya adalah untuk meninggalkan rajanya yang sewenang-wenang.
Selain itu, disebutkan bahwa profesi orang Bugis secara tradisional adalah bertani. Namun, mereka kemudian memutuskan untuk merantau demi kepentingan ekonomi.
Di sisi lain, orang Bugis dikenal sebagai pelaut yang handal dan pemberani sejak dahulu. Mereka dengan kapal phinisinya menjelajahi kepulauan Nusantara, bahkan sampai ke Madagaskar.
Sehingga ditemukan perkampungan-perkampungan Bugis di berbagai daerah dan negara. Seperti di pusat kota Singapura, terpampang gambar phinisi dan di sekitar tempat itu diberi nama Bugis Street.
Selain itu, komunitas Bugis juga diketahui sudah ada di Selat Malaka jauh sebelum Kota Malaka dibangun. Komunitas ini bahkan telah ada sejak Kerajaan Sriwijaya mencapai puncak kejayaannya pada abad X-XI.